Beranda | Artikel
Salah Orientasi
Jumat, 1 Mei 2020

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Orientasi artinya pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan. Demikian salah satu makna istilah orientasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kalau diungkapkan dengan bahasa yang lebih sederhana orientasi artinya arah; kemana arah yang hendak dituju.

Dalam bahasa Arab ia mungkin serupa dengan kata ‘ghoyah’ yang bermakna tujuan, puncak dan target yang hendak dicapai. Orang yang tidak punya arah dan tujuan yang jelas bisa disebut sebagai orang yang salah orientasi. Atau lebih tepatnya orang yang salah arah dikatakan telah salah orientasi.

Misalnya, orang yang beramal salih untuk mencari ketenaran/popularitas. Maka fenomena semacam ini bisa kita sebut sebagai dampak dari salah orientasi. Mengapa itu dinyatakan salah? Karena amal salih bukanlah sarana untuk mencapai popularitas. Orang yang beramal karena ingin dipuji itu disebut dalam bahasa syari’at sebagai orang yang riya’.

Dalam hadits qudsi Allah berfirman (yang artinya), “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya pujaan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Kita tentu tidak sedang menuduh isi hati orang lain. Yang kita bahas di sini adalah keadaan hati kita masing-masing. Sebagaimana nasihat yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah yang maknanya, “Tidaklah bersangka baik kepada dirinya sendiri (hawa nafsu) kecuali orang yang paling bodoh tentang dirinya. Dan tidaklah bersangka buruk kepada dirinya sendiri kecuali orang yang memang mengenali hakikat dirinya/hawa nafsu.” Kalimat ini dinukil oleh Syaikh Muhammad al-Imam hafizhahullah dalam ceramahnya ‘I’rif nafsaka, ta’rif Rabbaka’

Inilah salah satu fikih/kedalaman pemahaman ulama salaf. Seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya al-Qawa’id al-Hisan, bahwa para salaf terdahulu apabila membaca ayat al-Qur’an mereka pertama kali berupaya menerapkan ayat-ayat itu pada diri mereka. Jika ayat itu berisi peringatan dari suatu keburukan; mereka pun merasa dirinya dituju oleh peringatan itu. Mereka mengoreksi dirinya sendiri, sebelum menilai orang lain…

Ketika orang tidak diberi taufik untuk memiliki target dan arah yang benar dalam hidupnya maka tentu itu adalah masalah yang sangat besar dan berat bagi dirinya. Banyak orang yang lalai dari tujuan Allah menciptakan dirinya dan alasan mengapa Allah berikan sekian banyak nikmat kepada kita. Ya, banyak orang tidak mentauhidkan Allah, dan banyak orang juga yang tidak bersyukur kepada Allah. Padahal nikmat yang diberikan itu bertujuan agar kita beribadah kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Yang pada akhirnya manfaat syukur itu pun kembali kepada kita…

Dengan demikian sangat wajar dan tepat sekali ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berdoa kepada Allah setiap akhir sholat atau sesudah salam dengan bacaan doa yang artinya, “Ya Allah bantulah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)

Pada dasarnya manusia itu dilekati oleh dua sifat; zalim lagi jahil. Zalim membuatnya jauh dari bersikap adil. Dan jahil membuatnya jauh dari cahaya ilmu. Belum lagi hawa nafsu manusia yang kerapkali mengajak kepada perkara yang buruk. Kita semua sangat membutuhkan bantuan Allah untuk bisa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Oleh sebab itu kita pun meminta bantuan kepada Allah dalam setiap raka’at sholat, dengan membaca ayat ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Ibadah pun tidak bisa kita wujudkan kecuali dengan bantuan Allah…

Apabila kita telaah mengapa banyak orang terjebak dalam problem salah orientasi, salah satu jawabannya adalah karena manusia tertipu oleh kehidupan dunia. Dunia seolah menawarkan kenikmatan tiada tara dan kelezatan tanpa batas bagi pemujanya. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari lembah emas yang ketiga. Dan tidak akan memenuhi rongga tubuh anak Adam itu kecuali tanah. Dan Allah akan beri taubat kepada siapa yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)

Tidak tanggung-tanggung, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berpesan, “Jadilah kalian sebagai anak-anak akhirat, jangan kalian menjadi anak-anak dunia. Karena hari ini adalah amalan dan belum ada hisab, sementara besok di akhirat adanya hisab dan tiada lagi amalan.”

Dengan demikian orientasi seorang muslim adalah akhirat, bukan dunia. Karena dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat itu abadi. Dunia adalah ladang untuk negeri akhirat. Seorang muslim menyadari bahwa jalan menuju surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disenangi nafsu, dan jalan menuju neraka itu sebaliknya; menggiurkan, menggoda dan tampak memuaskan.

Dari sini maka setiap kita membutuhkan bantuan Allah agar bisa meniti jalan menuju surga dan terjauhkan dari jalan-jalan menuju neraka. Oleh sebab itulah setiap hari dalam sholat kita meminta kepada Allah petunjuk agar bisa berjalan di atas jalan yang lurus. Kita butuh petunjuk dan pertolongan Allah agar menjaga pendengaran, penglihatan, dan hati kita. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati; semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’ : 36)

Mengamalkan hal ini lebih berat daripada sekedar mengetahui dan memahaminya. Di sinilah perlunya doa dan perjuangan serta kesabaran. Doa kepada Allah karena hanya Allah semata pelindung dan penolong bagi orang-orang beriman, sedangkan orang-orang kafir tiada penolong dan pelindung bagi mereka. Penolong mereka hanya lah thaghut; yang tidak bisa menuntun mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya, bahkan sebaliknya mereka menyeret orang kafir ke dalam kegelapan dan kesesatan sehingga tidak mendapatkan cahaya ilmu dan keimanan.

Oleh sebab itu orang yang dikatakan berhasil dalam hidup ini bukanlah orang yang paling luas ilmu dan wawasannya tetapi mereka yang paling bagus amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Sebagaimana Allah menyebut orang-orang yang gagal sebagai orang yang paling merugi amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya telah berbuat sesuatu -kebaikan- dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)  

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal-amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu/terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Bukhari). Hadits ini mengisyaratkan bahwa keimanan seorang muslim tidak bisa dibiarkan tanpa perawatan. Bahkan iman itu butuh untuk selalu diperbaiki dan dijaga. Karena apabila tidak dijaga maka ia akan menyusut, berkurang dan melemah seiring dengan terpaan fitnah dan kotoran dosa.

Sehingga bukanlah seorang mukmin orang yang hanya beramal sehari atau dua hari, sebulan atau dua bulan. Tidaklah dikatakan mukmin kecuali orang yang terus menjaga imannya hingga akhir hayat. Demikian faidah yang disampaikan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah. Oleh sebab itu Allah memerintahkan kita untuk beramal hingga ajal tiba. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang keyakinan/kematian.” (al-Hijr : 99)

Seorang muslim senantiasa dihadapkan dengan ma’rakah dakhiliyah atau pertempuran internal yaitu perjuangan di dalam dirinya sendiri. Sebuah mujahadah/perjuangan melawan hawa nafsu dan setan yang harus terus dia lakukan sepanjang siang dan malam. Ia disebut juga dengan jihadun nafs.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/salah-orientasi/